Wednesday, May 26, 2010

Hemofilia


HEMOFILIA

A. KONSEP DASAR

1. DEFINISI
Hemofilia adalah kelainan koagulasi darah bawaan yang paling sering dan serius, berhubungan dengan defisiensi faktor VIII, IX, dan XI. Biasanya hanya terdapat pada anak laki-laki, terpaut kromoson X dan bersifat resesif.

 Hemofilia A
Merupakan hemofilia klasik dan terjadi karena defisiensi faktor VIII. Sekitar 80% kasus hemofilia adalah hemofilia A.
 Hemofilia B
Terjadi karena defesiensi faktor IX. Faktor IX diproduksi hati dan merupakan salah satu faktor pembekuan dependen vitamin K. Hemofilia B merupakan 12-15% kasus hemofilia.


2. ETIOLOGI
Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (FVIII) atau faktor IX (FIX), dikelompokkan sebagai hemofilia A dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X (Ginsberg, 2000). Oleh karena itu, semua anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah carier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang carier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia. Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu carier), tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi spontan (Hoffbrand, Pettit, 1993).

3. MANIFESTASI KLINIK
Penyakit ini, yang bisa sangat berat, ditandai dengan memar besar dan meluas dan pendarahan ke dalam otot, sendi, dan jaringan lunak meskipun hanya akibat trauma kecil. Pasien sering merasakan nyeri pada sendi sebelum tampak adanya pembengkakan dan keterbatasan gerak. Pendarahan sendi berulang dapat mengakibatkan kerusakan berat sampai terjadi nyeri kronis dan ankilosis (fiksasi) sendi. Kebanyakan pasien mengalami kecacatan akibat kerusakan sendi sebelum mereka dewasa. Hematuri spontan dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi. Penyakit ini sudah diketahui saat awal masa anak-anak, biasanya saat usia sekolah.

Sebelum tersedia konsentrat faktor VIII, kebanyakan pasien meninggal akibat komplikasi hemofilia sebelum mereka mencapai usia dewasa. Ada juga penderita hemofilia dengan defisiensi yang ringan, mempunyai sekitar 5% dan 25% kadar faktor VIII dan IX normal. Pasien seperti ini tidak mengalami nyeri dan kecacatan pada otot maupun pendarahan sendi, namun mengalami perdarahan ketika cabut gigi atau operasi. Namun demikian, perdarahan tersebut dapat berakibat fatal apabila penyebabnya tidak diketahui dengan segera.

4. KOMPLIKASI
Komplikasi hemofilia meliputi perdarahan dengan menurunnya perfusi, kekakuan sendi akibat perdarahan, hematuria spontan dan perdarahan gastrointestinal. Pada tahun-tahun terakhir, ditemukan bahwa pasien dengan hemofilia mempunyai resiko tinggi menderita AIDS akibat transfusi darah dan komponen darah yang pernah diterima. Semua darah yang didonorkan sekarang diperiksa terhadap adanya antibodi virus AIDS. Konsentrat faktor komersial biasanya sudah dipanaskan sehingga kemungkinan penularan penyakit infeksi melalui darah dapat diturunkan.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan waktu perdarahan yang normal, tetapi PTT memanjang. Terjadi penurunan pengukuran faktor VIII.
 Dapat dilakukan pemeriksaan pranatal untuk gen yang bersangkutan.

6. PENATALAKSANAAN
Dimasa lalu, satu-satunya penanganan untuk hemofilia adalah plasma segar beku, yang harus diberikan dalam jumlah besar sehingga pasien akan mengalami kelebihan cairan. Sekarang sudah tersedia konsentrat faktor VIII dan IX disemua bandara. Konsentrat diberikan apabila pasien mengalami perdarahan aktif atau sebagai upaya pencegahan sebelum pencabutan gigi atau pembedahan. Pasien dan keluarganya harus diajar cara memberikan konsentrat di rumah setiap kali ada tanda perdarahan.

Beberapa pasien membentuk antibodi terhadap konsentrat, sehingga kadar faktor tersebut tidak dapat dinaikkan. Penanganan masalah ini sangat sulit dan kadang tidak berhasil. Asam aminokaproat adalah penghambatan enzim fibrinolitik. Obat ini dapat memperlambat kelarutan bekuan darah yang sedang terbentuk, dan dapat digunakan setelah pembedahan mulut pasien dengan hemofilia.

Dalam rangka asuhan umum pasien dengan hemofilia tidak boleh diberi aspirin atau suntikan secara IM. Kebersihan mulut sangat penting sebagai upaya pencegahan, karena pencabutan gigi akan sangat membahayakan. Bidai dan alat ortopedi lainnya sangat berguna bagi pasien yang mengalami perdarahan otot atau sendi.


B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Perdarahan internal (abdominal, dada, atau nyeri pinggang, darah dalam urin, usus/muntahan), hematom otot, dan perdarahan dalam rongga sendi.
 Tanda vital dan hasil pengukuran tekanan hemodinamika harus dipantau untuk melihat adanya tanda hipovolemia.
 Semua ekstremitas dan tubuh diperiksa dengan teliti kalau ada tanda hematom.
 Sendi dikaji akan adanya pembengkakan, keterbatasan gerak dan nyeri.
 Pengukuran kebebasan gerak sendi dilakukan dengan perlahan dan teliti untuk menghindari kerusakan lebih lanjut. Apabila terjadi nyeri harus segera dihentikan.
 Pasien ditanya mengenai adanya keterbatasan aktivitas dan gerakan yang dialami sebelumnya dan setiap alat bantu yang dipakai seperti bidai, tongkat, atau kruk.
 Apabila pasien baru saja menjalani pembedahan, tempat luka operasi harus sering diperiksa dengan teliti akan adanya perdarahan.
 Perlu dilakukan pemantauan tanda vital sampai dapat dipastikan bahwa tidak ada perdarahan pascaoperatif yang berlebihan.
 Pasien dengan hemofilia harus ditanya mengenai bagaimana mereka dan keluarganya menghadapi kondisinya.
 Upaya yang biasanya dipakai untuk mencegah episode perdarahan.
 Keterbatasan yang diakibatkan oleh kondisi ini terhadap gaya hidup dan aktivitas sehari-hari.
 Pasien yang sering dirawat di rumah sakit karena episode perdarahan akibat cedera harus ditanya secara teliti mengenai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya episode tersebut.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d perdarahan sendi dan kekakuan yang ditimbulkannya.
2. Gangguan pemeliharaan kesehatan b/d kurang informasi tentang penyakitnya.
3. Koping tidak efektif b/d kondisi kronis dan pengaruhnya terhadap gaya hidup.

Masalah kolaborasi/komplikasi potensial
Berdasarkan pada data pengkajian, komplikasi potensial dapat mencakup:
 Perdarahan

III. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
Tujuan
Tujuan utama mencakup mengurangi nyeri, kepatuhan terhadap upaya pencegahan perdarahan, mampu menghadapi kronisitas dan perubahan gaya hidup, dan tidak adanya komplikasi.

Intervensi Keperawatan
Menghilangkan nyeri. Secara umum, diperlukan analgetik untuk mengurangi nyeri sehubungan dengan hematoma otot yang besar dan perdarahan sendi. Analgetika oral non opioid dapat diberikan, karena nyeri dapat berlangsung lama, dan ketergantungan terhadap narkotika dapat menjadi masalah baru pada nyeri kronis. Kadang perlu juga diberikan analgetik sebelum melakukan aktivitas yang diketahui menimbulkan nyeri. Hal ini tidak hanya membantu pasien menjalankan aktivitasnya, tetapi juga cenderung dapat menurunkan jumlah analgetika yang dibutuhkan.

Segala upaya harus dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan nyeri akibat aktivitas. Pasien didorong untuk bergerak perlahan dan mencegah stres pada sendi yang terkena. Banyak pasien yang merasakan bahwa berendam air hangat dapat membantu relaksasi, memperbaiki mobilitas, dan mengurangi nyeri. Tetapi, kompres panas harus dihindari selama episode perdarahan, karena dapat mengakibatkan perdarahan lebih lanjut.

Karena nyeri sendi membatasi gerak, maka pasien dengan nyeri yang sangat selama aktivitas dapat dibantu dengan alat bantu. Bidai, tongkat, atau kruk sangat berguna untuk memindahkan beban tubuh pada sendi yang sangat nyeri. Bidai harus terpasang dengan tepat untuk menghindari tekanan pada permukaan tubuh, yang dapat mengakibatkan cedera jaringan dan perdarahan.

Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi. Pasien dikaji sesering mungkin mengenai adanya tanda dan gejala penurunan perfusi jaringan seperti yang ditandai dengan adanya hipoksia pada organ vital, gelisah, cemas, pucat, kulit dingin lembab; nyeri dada dan penurunan curah urin. Hipotensi dan takikardi dapat terjadi akibat kekurangan volume. Tekanan darah, denyut nadi, respirasi, tekanan vena sentral dan tekan arteri pulmoner harus dipantau, begitu juga hemoglobin dan hematokrit, waktu perdarahan dan pembekuan, serta angka trombosit.

Pasien diamati sesering mungkin mengenai adanya perdarahan dari kulit, membran mukosa, dan luka serta adanya perdarahan internal. Selama terjadinya episode perdarahan, pasien dijaga agar tetap istirahat dan diberikan tekanan lembut pada tempat perdarahan aksternal. Kompres dingin diberikan pada tempat perdarahan bila perlu.

Obat parenteral diberikan dengan jarum ukuran kecil untuk mengurangi trauma dan risiko perdarahan. Segala usaha harus diupayakan untuk melindungi pasien dari trauma. Lingkungan dijaga agar bebas dari rintangan yang dapat menyebabkan jatuh, pasien dipindah dan digeser dengan sangat hati-hati. Tepi tempat tidur harus dilapisi dengan bantalan yang lunak. Darah dan komponen darah diberikan sesuai kebutuhan, dan diusahakan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penyuluhan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah.

Upaya pencegahan perdarahan. Pasien dan keluarganya diberi informasi mengenai risiko perdarahan dan usaha pengamanan yang perlu. Mereka dianjurkan untuk mengubah lingkungan rumah sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinya trauma fisik. Rintangan yang dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Mencukur harus dilakukan dengan cukur listrik dan menggosok gigi dengan sikat yang lembut untuk menjaga kebersihan mulut. Mengeluarkan ingus dengan kuat, batuk dan mengejan saat BAB harus dihindari. Pencahar diberikan bila perlu. Aspirin atau obat yang mengandung aspirin harus dihindari.

Dianjurkan melakukan aktivitas fisik, tetapi dengan keamanan yang baik. Olahraga tanpa kontak seperti berenang, hiking, dan golf merupakan aktivitas yang dapat diterima, sementara olahraga dengan kontak harus dihindari. Latihan penguatan tungkai sangat perlu untuk rehabilitasi setelah hemartosis akut.

Perlunya kontrol yang teratur dan pemeriksaan laboratorium harus dijelaskan. Dengan pemahaman alasan perlunya evaluasi medis berkelanjutan, pasien akan mematuhi jadwal kontrol.

Menghadapi kondisi kronis dan perubahan gaya hidup. Pasien dengan hemofilia sering memerlukan bantuan dalam menghadapi kondisi kronis, keterbatasan ruang kehidupan, dan kenyataan bahwa kondisi tersebut merupakan penyakit yang akan diturunkan ke generasi berikutnya. Sejak masa kanak-kanak, pasien dibantu untuk menerima dirinya sendiri dan penyakitnya serta mengidentifikasi aspek positif dari kehidupan mereka. Mereka harus didorong untuk merasa berarti dan tetap mandiri dengan mencegah trauma yang dapat menyebabkan episode perdarahan akut dan mengganggu kegiatan normal. Kemajuan dalam menerima kondisi tersebut, akan membuat mereka lebih bertanggung jawab untuk menjaga kesehatannya secara optimal. Meningkatnya presentase penderita hemofilia dengan HIV, maka pasien dan keluarganya harus belajar bagaimana mereka berhadapan dengan rasa marah yang dialami secara efektif sehubungan dengan penyakit yang mematikan tersebut. Peningkatan angka kematian pasien hemofilia yang menderita AIDS telah merubah peran perawat. Perawat harus mengetahui pengaruh stres tersebut secara profesional dan personal serta menggali semua sumber dukungan untuk mereka sendiri begitu juga untuk pasien dan keluarganya.

Idealnya, semua pasien dengan hemofilia dapat bekerja sama dengan pelayanan kesehatan, mematuhi perjanjian kontrol kesehatan dan kesehatan gigi, dan berusaha hidup sehat serta produktif. Banyak pasien yang memperoleh manfaat dari pusat layanan hemofilia dan kelompok pendukung. Lembaga tersebut memberikan layanan terpadu dan berkelanjutan serta kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain yang menghadapi situasi yang sama.

IV. EVALUASI
Hasil yang diharapkan:
1. Nyeri berkurang
a. Melaporkan berkurangnya nyeri setelah menelan analgetik
b. Memperlihatkan peningkatan kemampuan bertoleransi dengan gerakan sendi
c. Mempergunakan alat bantu (bila perlu) untuk mengurangi nyeri

2. Melakukan upaya mencegah perdarahan
a. Menghindari trauma fisik
b. Merubah lingkungan rumah untuk meningkatkan pengamanan
c. Mematuhi janji dengan profesional layanan kesehatan
d. Mematuhi janji menjalani pemeriksaan laboratorium
e. Menghindari olahraga kontak
f. Menghindari aspirin atau obat yang mengandung aspirin
g. Memakai gelang penanda

3. Mampu menghadapi kondisi kronis dan perubahan gaya hidup
a. Mengidentifikasi aspek positif kehidupan
b. Melibatkan anggota keluarga dalam membuat keputusan mengenai masa depan dan perubahan gaya hidup yang harus dilakukan
c. Berusaha mandiri
d. Menyusun rencana khusus untuk kelanjutan asuhan kesehatan

4. Tidak mengalami komplikasi
a. Tanda vital dan tekanan hemodinamika tetap normal
b. Hasil pemeriksaan laboratorium tetap dalam batas normal
c. Tidak mengalami perdarahan aktif


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC. Jakarta.

Malaria


MALARIA

A. KONSEP DASAR

1. DEFINISI
Malaria adalah suatu penyakit akut dan bisa menjadi kronik, disebabkan protozoa yang hidup intra sel, genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.

2. ETIOLOGI
Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Malaria juga melibatkan hospes perantara, yaitu manusia maupun vertebra lainnya, dan hospes definitif, yaitu nyamuk Anopheles.

3. PATOFISIOLOGI
Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebra termasuk manusia.

a. Fase aseksual
Fase aseksual terbagi atas fase jaringan dan fase eritrosit. Pada fase jaringan, sporozoit masuk dalam aliran darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase ini, skizon pecah dan merozoit keluar dan masuk aliran darah, disebut sporulasi. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekurens.
Fase eritrosit dimulai dan merozoit dalam darah menyerang eritrosit membentuk trofozoit. Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas/inkubasi intrinsik dimulai dari masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.

b. Fase seksual
Parasit seksual masuk dalam lambung betina nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikro dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang disebut zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan mencapai kelenjar liur nyamuk.

4. MANIFESTASI KLINIK
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat bepergian ke daerah endemik malaria. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:

a. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi). Pada malaria tertiana (Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (Plasmodium malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa serangan demam periodik. Demam khas malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringat (2-4 jam). Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada respons imun.

b. Splenomegali
Slenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang bertambah.

c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena Plasmodium falciparum.

Anemia disebabkan oleh:
1) Penghancuran eritrosit yang berlebihan.
2) Eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time).
3) Gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sum-sum tulang (diseritropoesis).

d. Ikterus
Ikterus disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar.
Malaria laten adalah masa pasien di luar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.

Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat:
 Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
 Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang biak.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Analisis darah akan memperlihatkan adanya parasit sel darah merah.

6. PENATALAKSANAAN
 Terapi profilaktik terhadap malaria dianjurkan bagi orang yang bepergian ke daerah endemik.
 Pencegahan di daerah endemik antara lain terdiri dari eliminasi sumber-sumber genangan air dan penggunaan insektisida, kelambu, dan insect reppelent.
 Tersedia obat antimalaria untuk mengatasi penyakit apabila terjangkit.
 Kadang-kadang dilakukan transfusi darah. Namun, di daerah-daerah endemik dapat terjadi penularan virus imunodefisiensi manusia (HIV).
 Baru-baru ini diciptakan vaksin yang tidak mencegah infeksi oleh parasit, tetapi tampaknya dapat mengurangi keparahan penyakit.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Aktivitas/istirahat
Gejala: Malaise.
 Sirkulasi
Tanda: TD normal/sedikit dibawah jangkauan normal. Kulit hangat, kering, bercahaya (vasodilasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).
 Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot. Penurunan haluaran, konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.
 Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
 Nyeri/kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit/ketidaknyamanan.
 Pernapasan
Gejala: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan, penggunaan kortikosteroid, infeksi baru.
Tanda: Suhu: umumnya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia. Menggigil, ruang eritema makular, drainase purulen.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi infeksi b/d penurunan sistem imun.
2. Hipertermia b/d perubahan pada regulasi temperatur.
3. Risiko kekurangan volume cairan b/d peningkatan metabolisme tubuh.
4. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari kebutuhan.
5. Nyeri b/d proses inflamasi.

III. INTERVENSI

1. Risiko tinggi infeksi b/d penurunan sistem imun.
Tujuan : Menunjukkan penyembuhan seiring perjalanan waktu, bebas dari tanda-tanda infeksi.

Intervensi :
1) Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi.
R/ Mengurangi risiko kemungkinan infeksi.

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril.
R/ Mengurangi kontaminasi silang.

3) Pantau kecenderungan suhu.
R/ Demam disebabkan oleh efek-efek dari endotoksin pada hipotalamus dan endorfin yang melepaskan pirogen. Hipotermia adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan status syok/penurunan perfusi jaringan.

4) Amati adanya menggigil dan diaforesis.
R/ Menggigil seringkali mendahului memuncaknya suhu pada infeksi.

5) Pantau tanda-tanda penyimpangan kondisi/kegagalan untuk membaik selama masa terapi.
R/ Dapat menunjukkan ketidaktepatan/ketidakadekuatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme resisten/oportunistik.

6) Kolaborasi pemberian obat anti infeksi sesuai indikasi.
R/ Dapat membasmi/memberikan imunitas sementara untuk infeksi.

2. Hipertermia b/d perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan : Menunjukkan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

Intervensi :
1) Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan adanya menggigil/ diaforesis.
R/ Suhu 38,9oC-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis. Menggigil sering mendahului puncak suhu.

2) Pantau suhu lingkungan, tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi.
R/ Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.

3) Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alkohol.
R/ Membantu mengurangi demam. Alkohol mungkin menyebabkan kedinginan dan dapat mengeringkan kulit.

4) Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai indikasi.
R/ Mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

3. Risiko kekurangan volume cairan b/d peningkatan metabolisme tubuh.
Tujuan : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat dengan tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan haluaran urine adekuat.

Intervensi :
1) Ukur/catat haluaran urine dan berat jenis. Catat ketidakseimbangan masukan dan haluaran kumulatif (termasuk semua kehilangan/tak kasat mata).
R/ Penurunan haluaran urine dan berat jenis akan menyebabkan hipovolemia.

2) Dorong masukan cairan sesuai toleransi.
R/ Memenuhi kebutuhan cairan, mencegah dehidrasi.

3) Kaji membran mukosa kering, turgor kulit yang kurang baik, dan rasa haus.
R/ Hipovolemia akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi.

4) Berikan cairan IV sesuai indikasi.
R/ Menggantikan kehilangan dengan meningkatkan permeabilitas kapiler dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata, mis: demam/diaforesis.

4. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari kebutuhan.
Tujuan : Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).

Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal, catat laporan kelelahan, keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.
R/ Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

2) Awasi TD, nadi, pernapasan, selama dan sesudah aktivitas. Catat respons terhadap aktivitas (mis: peningkatan denyut jantung/TD, disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan sebagainya).
R/ Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.

3) Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi pengunjung, telepon, dan gangguan berulang tindakan yang tak direncanakan.
R/ Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.

4) Gunakan teknik penghematan energi, mis: mandi dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas.
R/ Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan.

5) Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, napas pendek, kelemahan, atau pusing terjadi.
R/ Regangan/stres kardiopulmonal berlebihan/stress dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan.

5. Nyeri b/d proses inflamasi.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri.
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.

2) Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
R/ Tirah baring pada posisi Fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.

3) Kontrol suhu lingkungan.
R/ Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.

4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ Meningkatkan istirahat dan dapat meningkatkan koping.

5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
R/ Menghilangkan/membantu dalam manajemen nyeri.

IV. EVALUASI
1. Menunjukkan penyembuhan seiring perjalanan waktu, bebas dari tanda-tanda infeksi.
2. Menunjukkan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.
3. Mempertahankan volume sirkulasi adekuat dengan tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan haluaran urine adekuat.
4. Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas harian).
5. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Kelainan Katup Jantung


KELAINAN KATUP JANTUNG

A. KONSEP DASAR
Bila salah satu katup jantung tidak terbuka atau tertutup dengan baik maka akan mempengaruhi aliran darah. Bila katup tidak dapat membuka secara sempurna (biasanya karena stenosis), akibatnya aliran darah melalui katup tersebut akan berkurang. Bila katup tidak dapat menutup secara sempurna darah akan mengalami kebocoran sebagai proses yang disebut regurgitasi atau insufisiensi.

Kelainan katup mitral dibagi menjadi beberapa kategori berikut:
 Sindrom prolaps katup mitralis
 Stenosis katup mitralis
 Insufisiensi katup mitralis (regurgitasi)

Kelainan katup aorta dikategorikan sebagai berikut:
 Stenosis katup aorta
 Insufisiensi katup aorta (regurgitasi)

SINDROM PROLAPS KATUP MITRALIS (MVP)

1. Definisi
Sindrom prolaps katup mitralis adalah disfungsi bilah-bilah katup mitralis yang tidak dapat menutup dengan sempurna dan mengakibatkan regurgitasi, sehingga darah merembes dari ventrikel kiri ke atrium kiri.

2. Manifestasi Klinik
Banyak orang yang mempunyai sindrom ini tapi tidak menunjukkan gejala. Terkadang gejala pertama kali ditemukan pada saat pemeriksaan fisik jantung, dengan ditemukannya bunyi jantung tambahan yang dikenal sebagai mitral click. Adanya klik merupakan tanda awal bahwa jaringan katup menggelembung ke atrium kiri dan telah terjadi gangguan aliran darah. Mitral klik dapat berubah menjadi murmur seiring dengan semakin tidak berfungsinya bilah-bilah katup. Dengan berkembangnya proses penyakit, bunyi murmur menjadi tanda terjadinya regurgitasi mitral (aliran balik darah). Prolaps katup mitral terjadi lebih sering pada wanita dibanding pria.

3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis ditujukan untuk mengontrol gejala yang terjadi. Beberapa pasien mengalami disritmia yang mengganggu dan memerlukan antidisritmia, sedangkan yang lain mengalami gagal jantung ringan dan memerlukan terapi. Pada tahap lanjut, penggantian katup mungkin diperlukan.

Pasien dengan sindrom ini perlu diberi penyuluhan mengenai pentingnya terapi profilaksis antibiotik sebelum menjalani prosedur invasif (mis: perawatan gigi prosedur genitouriner atau gastrointestinal, terapi IV yang dapat menyebabkan masuknya bahan infeksius ke dalam sistem tubuh. Apabila klien merasa ragu mengenai faktor risiko dan perlunya antibiotika, maka anjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter.

STENOSIS KATUP MITRALIS (SM)

1. Definisi
Stenosis katup mitralis adalah penyempitan lubang katup antara atrium kiri dan ventrikel kiri.

2. Etiologi
Stenosis katup mitralis biasanya disebabkan oleh pembentukan jaringan parut setelah demam rematik atau infeksi jantung lainnya.

3. Patofisiologi
Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam reumatik. Terbentuknya sekat jaringan ikat tanpa pengapuran mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastolik lebih kecil dari normal.

Berkurangnya luas efektif lubang mitral menyebabkan berkurangnya daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri, sehingga timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri waktu diastolik. Jika peningkatan tekanan ini tidak berhasil mengalirkan jumlah darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akan terjadi bendungan pada atrium kiri dan selanjutnya akan menyebabkan bendungan vena dan kapiler paru. Bendungan ini akan menyebabkan terjadinya sembab interstisial kemudian mungkin terjadi sembab alveolar. Pecahnya vena bronkialis akan menyebabkan hemoptisis.

Pada tahap selanjutnya tekanan arteri pulmonal akan meningkat, kemudian terjadi pelebaran ventrikel kanan dan insufisiensi pada katup trikuspid atau pulmonal. Akhirnya vena-vena sistemik akan mengalami bendungan pula. Bendungan hati yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi hati.

Kompensasi pertama tubuh untuk menaikkan curah jantung adalah takikardi. Tetapi kompensasi ini tidak selamanya menambah curah jantung karena pada tingkat tertentu akan mengurangi masa pengisian diastolik. Regangan pada otot-otot atrium dapat menyebabkan gangguan elektris sehingga terjadi fibrilasi atrium. Hal ini akan mengganggu pengisian ventrikel dari atrium dan memudahkan pembentukan trombus di atrium kiri.

4. Manifestasi Klinik
 Gambaran klinis mungkin tidak ada atau sebaliknya parah, bergantung pada tingkat stenosis.
 Dapat terjadi kongesti paru, dengan tanda-tanda dispnu (sesak napas) dan hipertensi paru.
 Dapat terjadi rasa bergoyang dan kelelahan akibat penurunan pengeluaran ventrikel kiri. Kecepatan denyut jantung mungkin meningkat akibat rangsangan simpatis.
 Dapat terjadi hipertrofi atrium kiri sehingga timbul disritmia atrium dan gagal jantung kanan.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Dapat terdengar murmur jantung sistolik sewaktu darah masuk melalui orifisium yang menyempit.
 Dapat digunakan ekokardiografi untuk mendiagnosis struktur dan gerakan katup yang abnormal.

6. Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan untuk mencegah berulangnya infeksi. Penatalaksanaan gagal jantung kongesti adalah dengan memberikan kardiotonikum dan diuretik. Intervensi bedah meliputi komisurotomi untuk membuka atau ‘menyobek’ komisura katup mitral yang lengket atau mengganti katup mitral dengan katup protesa. Pada beberapa kasus dimana pembedahan merupakan kontraindikasi dan terapi medis tidak mampu menghasilkan hasil yang diharapkan, maka dapat dilakukan valvuloplasti transluminal perkutan untuk mengurangi beberapa gejala.

INSUFISIENSI KATUP MITRALIS (REGURGITASI) (IM)

1. Definisi
Insufisiensi katup mitralis (regurgitasi) adalah kembalinya darah ke atrium kiri dari ventrikel kiri melalui katup mitralis, yang terutama terjadi sewaktu ventrikel berkontraksi.

2. Etiologi
Insufisiensi mitralis terjadi akibat katup mitralis yang inkompeten. Katup mitralis gagal menutup sempurna sewaktu sistol ventrikel dimulai. Regurgitasi katup mitralis biasanya disebabkan oleh demam rematik, infeksi bakteri lainnya pada jantung, atau ruptur katup pada penyakit arteri koroner.

3. Patofisiologi
Insufisiensi mitral akibat reumatik terjadi karena katup tidak bisa menutup sempurna waktu sistolik. Perubahan pada katup meliputi klasifikasi, penebalan, dan distorsi daun katup. Hal ini mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistolik. Selain pemendekan korda tendinea mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel, terutama bagian posterior, dapat juga terjadi dilatasi anulus atau ruptur korda tendinea. Selama fase sistolik, terjadi aliran regurgitasi ke atrium kiri, mengakibatkan gelombang V yang tinggi di atrium kiri, sedangkan aliran ke aorta berkurang. Pada saat diastolik, darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel. Darah tersebut selain yang berasal dari paru-paru melalui vena pulmonalis, juga terdapat darah regurgitan dari ventrikel kiri waktu sistolik sebelumnya. Ventrikel kiri cepat distensi, apeks bergerak ke bawah secara mendadak, menarik katup, korda, dan otot papilaris. Hal ini menimbulkan vibrasi membentuk bunyi jantung ketiga. Pada insufisiensi mitral kronik, regurgitasi sistolik ke atrium kiri dan vena-vena pulmonalis dapat ditoleransi tanpa meningkatnya tekanan baji dan aorta pulmonal.

4. Manifestasi Klinik
 Gambaran klinis mungkin tidak ada atau sebaliknya parah, bergantung pada tingkat regurgitasi.
 Dapat terjadi kongesti paru, dengan tanda-tanda dispnu dan hipertensi pulmonaris, apabila darah kembali ke sistem vaskular paru.
 Penurunan curah jantung akibat penurunan volume sekuncup dapat menyebabkan rasa bergoyang dan kelelahan. Kecepatan denyut jantung mungkin meningkat akibat perangsangan simpatis.
 Hipertrofi ventrikel kiri dan atrium kiri dapat terjadi, sehingga timbul gagal jantung kongestif.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Murmur jantung sistolik dapat didengar pada saat darah mendorong dengan kuat melewati katup.
 Ekokardiografi dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya struktur dan gerakan katup yang abnormal.

6. Penatalaksanaan
Pemberian antibiotik untuk mencegah reaktivasi reumatik dan timbulnya endokarditis infektif. Intervensi bedah meliputi penggantian katup mitral.

STENOSIS KATUP AORTA (SA)

1. Definisi
Stenosis katup aorta adalah penyempitan lumen katup di antara ventrikel kiri dan aorta.

2. Etiologi
Stenosis dapat disebabkan kelainan kongenital seperti aorta bikuspid dengan lubang kecil dan katup aorta unikuspid, yang biasanya menimbulkan gejala dini. Pada orang tua, penyakit jantung reumatik dan perkapuran merupakan penyebab tersering.

3. Patofisiologi
Ukuran normal orifisium aorta 2-3 cm2. Stenosis aorta menyebabkan tahanan dan perbedaan tekanan selama sistolik antara ventrikel kiri dan aorta. Peningkatan tekanan ventrikel kiri menghasilkan beban tekanan yang berlebihan pada ventrikel kiri, yang diatasi dengan meningkatkan ketebalan dinding ventrikel kiri (hipertrofi ventrikel). Pelebaran ruang ventrikel kiri terjadi sampai kontraktilitas miokard menurun. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat. Kontraksi atrium menambah volume darah diastolik ventrikel kiri. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran atrium kiri. Akhirnya beban ventrikel kiri yang terus menerus akan menyebabkan pelebaran ventrikel kiri dan menurunkan kontraktilitas miokard. Iskemia miokard timbul akibat kurangnya aliran darah koroner ke miokard yang hipertrofi.

4. Manifestasi Klinik
 Gambaran klinis dapat parah atau tidak muncul sama sekali, tergantung dari derajat stenosis.
 Kongesti paru, disertai tanda-tanda dispnea dan hipertensi pulmonal, dapat terjadi jika aliran balik darah mencapai sistem vaskular paru.
 Pusing dan kelemahan dapat terjadi akibat menurunnya curah jantung dan isi sekuncup. Frekuensi jantung meningkat melalui rangsangan simpatis.
 Hipertrofi ventrikel kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kongestif.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Murmur jantung sistolik terdengar seperti aliran darah yang dipaksa masuk melalui lumen yang sempit.
 Ekokardiografi dapat digunakan untuk mendiagnosa struktur dan gerakan katup abnormal.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang sesuai untuk stenosis aorta adalah penggantian katup aorta secara bedah. Terdapat risiko kematian mendadak pada pasien yang diobati saja tanpa tindakan bedah. Keadaan yang tak dikoreksi tersebut dapat menyebabkan gagal jantung permanen yang tidak berespons terhadap terapi medis.

INSUFISIENSI KATUP AORTA (REGURGITASI) (IA)

1. Definisi
Insufisiensi katup aorta (regurgitasi) adalah kembalinya darah ke ventrikel kiri dari aorta selama diastol.

2. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah demam reumatik dan sifilis. Kelainan katup dan pangkal aorta juga bisa menimbulkan insufisiensi aorta. Pada insufisiensi aorta kronik terlihat fibrosis dan retraksi daun-daun katup, dengan atau tanpa klasifikasi, yang umumnya merupakan sekuele dari demam reumatik.

3. Patofisiologi
Insufisiensi kronik mengakibatkan peningkatan secara bertahap dari volume akhir diastolik ventrikel kiri. Akibat beban volume ini, jantung melakukan penyesuaian dengan mengadakan pelebaran dinding ventrikel kiri. Curah sekuncup ventrikel kiri juga meningkat. Kompensasi yang terjadi berupa hipertrofi ventrikel kiri yang bisa menormalkan tekanan dinding sistolik. Pada tahap kronik, faktor miokard primer atau lesi sekunder seperti penyakit koroner dapat menurunkan kontraktilitas miokard ventrikel kiri dan menimbulkan peningkatan volume diastolik akhir serta penurunan fraksi ejeksi. Selanjutnya dapat meningkatkan tekanan atrium kiri dan hipertensi vena pulmonal.

Perubahan hemodinamik keadaan akut dapat dibedakan dengan keadaan kronik. Kerusakan akut timbul pada pasien tanpa riwayat insufisiensi sebelumnya. Ventrikel kiri tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi terhadap insufisiensi aorta. Peningkatan secara tiba-tiba dari tekanan diastolik akhir ventrikel kiri bisa timbul dengan sedikit dilatasi ventrikel.

4. Manifestasi Klinik
 Dapat diukur melebarnya tekanan paru.
 Biasanya terdapat denyut karotis dan perifer yang hiperkinetik (sangat kuat).
 Dapat timbul gejala-gejala gagal jantung.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Sering terdengar murmur jantung diastolik bernada tinggi.
 Dapat digunakan ekokardiografi untuk mendiagnosis struktur dan gerakan katup yang abnormal.

6. Penatalaksanaan
Penggantian katup aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang tepat untuk penggantian katup masih kontroversial. Pembedahan dianjurkan pada semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain. Bila pasien mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus diberikan penatalaksanaan medis sampai dilakukannya pembedahan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelemahan, kelelahan, pusing, rasa berdenyut, dispnea karena kerja, palpitasi, gangguan tidur (ortopnea, dispnea paroksismal nokturnal, nokturia, keringat malam hari).
Tanda: Takikardi, gangguan pada TD, pingsan karena kerja, takipnea, dispnea.
 Sirkulasi
Gejala: Riwayat kondisi pencetus, contoh demam reumatik, endokarditis bakterial subakut, infeksi streptokokal; hipertensi, kondisi kongenital (contoh kerusakan atrial-septal, sindrom Marfan), trauma dada, hipertensi pulmonal, riwayat murmur jantung, palpitasi, serak, hemoptisis, batuk dengan/tanpa produksi sputum.
Tanda: Sistolik TD menurun (AS lambat). Tekanan nadi: penyempitan (SA); luas (IA). Nadi karotid: lambat dengan volume nadi kecil (SA); bendungan dengan pulsasi arteri terlihat (IA). Nadi apikal: PMI kuat dan terletak di bawah dan ke kiri (IM); secara lateral kuat dan perpindahan tempat (IA). Getaran: Getaran diastolik pada apek (SM), getaran sistolik pada dasar (SA), getaran sistolik sepanjang batas sternal kiri; getaran sistolik pada titik jugular dan sepanjang arteri karotis (IA). Dorongan: dorongan apikal selama sistolik (SA). Bunyi jantung: S1 keras, pembukaan yang keras (SM). Penurunan atau tak ada S1, bunyi robekan luas, adanya S3, S4 (IM berat). Bunyi ejeksi sistolik (SA). Bunyi sistolik, ditonjolkan oleh berdiri/jongkok (MVP). Kecepatan: takikardi (MVP); takikardi pada istirahat (SM). Irama: tak teratur, fibrilasi atrial (SM dan IM). Disritmia dan derajat pertama blok AV (SA). Murmur: bunyi rendah, murmur diastolik gaduh (SM). Murmur sistolik terdengar baik pada dasar dengan penyebaran ke leher (SA). Murmur diastolik (tiupan), bunyi tinggi dan terdengar baik pada dasar (IA). DVJ: mungkin ada pada adanya gagal ventrikel kanan. Warna/sianosis: kulit hangat, lembab, dan kemerahan (IA). Kapiler kemerahan dan pucat pada tiap nadi (IA).
 Integritas ego
Gejala: Tanda kecemasan, contoh gelisah, pucat, berkeringat, fokus menyempit, gemetar.
 Makanan/cairan
Gejala: Disfagia (IM kronis), perubahan berat badan, penggunaan diuretik.
Tanda: Edema umum atau dependen, hepatomegali dan asites (SM, IM), hangat, kemerahan dan kulit lembab (IA), pernapasan payah dan bising dengan terdengar krekels dan mengi.
 Neurosensori
Gejala: Episode pusing/pingsan berkenaan dengan beban kerja.
 Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri dada, angina (SA, IA), nyeri dada non-angina/tidak khas (MVP).
 Pernapasan
Gejala: Dispnea (kerja, ortopnea, paroksismal, nokturnal). Batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda: Takipnea, bunyi napas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak darah (edema pulmonal), gelisah/ketakutan (pada adanya edema pulmonal).
 Keamanan
Gejala: Proses infeksi/sepsis, kemoterapi radiasi, adanya perawatan gigi (pembersihan, pengisian, dan sebagainya).
Tanda: Perlu perawatan gigi/mulut.
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penggunaan obat IV (terlarang) baru/kronis.
Pertimbangan pemulangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 4,9 hari. Bantuan dengan kebutuhan perawatan diri, tugas-tugas rumah tangga/pemeliharaan, perubahan dalam terapi obat, susunan perabot di rumah.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung b/d perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
2. Risiko kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
3. Nyeri akut b/d iskemia jaringan miokard.
4. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

III. INTERVENSI

1. Penurunan curah jantung b/d perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.

Intervensi :
1) Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi dini/tindakan terhadap dekompensasi.

2) Pantau irama jantung sesuai indikasi.
R/ Disritmia umum pada pasien dengan penyakit katup.

3) Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.

4) Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.
R/ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.

5) Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.

6) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.

2. Risiko kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

Intervensi :
1) Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.
R/ Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.

2) Catat laporan dispnea, ortopnea. Evaluasi adanya/derajat edema (dependen/umum).
R/ Terjadinya/teratasinya gejala menunjukkan status keseimbangan cairan dan keefektifan terapi.

3) Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.

4) Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.
R/ Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.

5) Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/ Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.

6) Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
R/ Dapat diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.

7) Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/ Menurunkan retensi cairan.

3. Nyeri akut b/d iskemia jaringan miokard.
Tujuan : Nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).
R/ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.

2) Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh kerja tiba-tiba, stres, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.

3) Anjurkan pasien berespons tepat terhadap angina (contoh berhenti aktivitas yang menyebabkan angina, istirahat, dan minum obat antiangina yang tepat).
R/ Penghentian aktivitas menurunkan kebutuhan oksigen dan kerja jantung dan sering menghentikan angina.

4) Berikan vasodilator, contoh nitrogliserin, nifedipin (Procardia) sesuai indikasi.
R/ Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi miokardia (vasodilator) menurunkan angina sehubungan dengan iskemia miokardia.

4. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.

Intervensi :
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.

2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.

3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.

5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.
Tujuan : Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.

Intervensi :
1) Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.

2) Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/ Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping.

3) Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.

4) Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.
R/ Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa kontrol.

5) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi, relaksasi progresif.
R/ Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

IV. EVALUASI
1. Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
2. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
3. Nyeri hilang/terkontrol.
4. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
5. Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

Penyakit Infeksi Pada Jantung

PENYAKIT INFEKSI PADA JANTUNG

A. KONSEP DASAR

ENDOKARDITIS

1. Definisi
Endokarditis infeksi adalah infeksi katup dan permukaan endotel jantung yang disebabkan oleh invasi langsung bakteri atau organisme lain dan menyebabkan deformitas bilah katup.

2. Etiologi
Mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit ini paling banyak adalah Streptococcus viridans untuk endokarditis subakut, dan Staphylococcus aureus untuk endokarditis infektif akut. Etiologi lain adalah Streptococcus faecalis, Streptococcus dan Staphylococcus lain, bakteri Gram negatif aerob dan anaerob, jamur, virus, dan kandida.
Faktor predisposisi adalah kelainan katup jantung, terutama penyakit jantung reumatik, katup aorta bikuspid, prolaps katup mitral dengan regurgitasi, katup buatan, katup yang floppy pada sindrom Marfan, tindakan bedah gigi atau orofaring yang baru, tindakan atau pembedahan pada saluran urogenital atau saluran napas, pecandu narkotika intravena, kelainan jantung bawaan, luka bakar, hemodialisa, penggunaan kateter vena sentral, dan pemberian nutrisi parenteral yang lama.

3. Manifestasi Klinik
Awitan endokarditis infeksi biasanya mendadak. Tanda dan gejala berkembang akibat efek toksik infeksi, akibat destruksi katup jantung, dan akibat emboli fragmen vegetatif di jantung.
Manifestasi umum, mirip dengan influensa, mencakup keluhan yang tidak jelas tentang adanya kelemahan, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun, batuk, nyeri sendi dan punggung. Terjadi demam intermitten dan mungkin tidak ada demam pada pasien yang sudah mendapat antibiotik atau kortikosteroid atau pada manula, dan pada mereka yang mengalami gagal jantung kongestif atau gagal ginjal. Perdarahan splinter (garis atau goresan perdarahan) bisa dilihat di kuku jari tangan atau kaki, dan petekia dapat muncul di konjungtiva dan membran mukosa. Perdarahan dengan bagian tengah pucat (spot Roth) yang dapat terlihat di fundus okuli disebabkan oleh emboli di lapisan serabut saraf di mata.

Manifestasi jantung mencakup murmur jantung, yang pada mulanya tidak ada. Perkembangan murmur yang progressif sesuai perkembangan waktu dapat terjadi dan menunjukkan adanya kerusakan katup akibat vegetasi atau perforasi katup atau chordae tendineae. Pembesaran jantung atau adanya bukti gagal jantung kongestif juga bisa terjadi.
Manifestasi sistem saraf pusat mencakup sakit kepala, iskemia serebral transien atau sementara, dan stroke, yang mungkin diakibatkan oleh emboli pada arteri serebral.

Embolisasi mungkin merupakan gejala yang ada, terjadi setiap waktu dan mengenai berbagai sistem organ. Fenomena emboli dapat termanifestasi di paru (pneumonia berulang, abses pulmo), ginjal (hematuria, gagal ginjal), limpa (nyeri abdomen kuadran kiri atas), jantung (infark miokardium), otak (stroke), atau pembuluh perifer.

4. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis (neutrofilia), anemia normositik normokrom, peningkatan LED, imunoglobulin serum meningkat, uji fraksi gamaglobulin positif, total hemolitik komplemen dan komplemen C3 dalam serum menurun, serta kadar bilirubin darah yang sedikit meningkat. Pada pemeriksaan urin didapatkan proteinuria dan mikrohematuria.

Pembiakan darah dilakukan selama 1-3 minggu untuk mencari mikroorganisme yang mungkin berkembang biak agak lambat. Darah diambil tiap hari berturut-turut selama 2-5 hari sebanyak 10 ml, sebelum diberikan antibiotik. Bila antibiotik telah diberikan, hentikan selama 3-7 hari. Paling kurang dua kali pembiakan harus memberikan hasil yang sama. Pada hasil yang positif dilakukan uji resistensi terhadap antibiotik.

Foto toraks dilakukan untuk mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif sebagai komplikasi yang sering, adanya bercak infiltrat kecil multipel pada penyalahgunaan narkotika intravena, dan klasifikasi katup.
EKG diperlukan untuk mencari infark tersembunyi yang disebabkan emboli atau vegetasi pada arteri koronaria, dan gangguan hantaran yang disebabkan endokarditis.

Endokardiografi perlu untuk melihat vegetasi pada katup aorta, terutama vegetasi yang besar (>5 mm), melihat dilatasi atau hipertrofi atrium atau ventrikel yang progresif, mencari penyakit yang menjadi predisposisi endokarditis, dan melihat penutupan katup mitral yang lebih dini.

5. Penatalaksanaan
Pengobatan akan berhasil baik bila dimulai sedini mungkin, obat tepat (terutama sesuai dengan uji resistensi), dan waktu yang cukup.

Pengobatan empiris untuk endokarditis akut adalah dengan nafsilin 2 g/4 jam, ampisilin 2 g/4 jam dan gentamisin 1,5 mg/kg/ BB/8 jam. Sedangkan untuk endokarditis subakut, cukup dengan ampisilin dan gentamisin.
Pada orang dewasa atau anak-anak dengan endokarditis disertai kelainan jantung reumatik dan bawaan dapat diberi penisilin G 2,4-6 juta unit/hari dan diteruskan selama 4 minggu. Penisilin diberi secara parenteral selama 2 minggu dan selanjutnya diberi secara parenteral atau oral (penisilin V). Dapat ditambahkan streptomisin 0,5 mg tiap 12 jam selama 2 minggu.

Pada orang tua atau wanita setelah tindakan obstetrik dan ginekologis dapat diberi penisilin G 1,2-2,4 juta unit/hari parenteral ditambah gentamisin 3-5 mg/kg BB yang dibagi dalam 2-3 dosis. Ampisilin dapat dipakai dengan dosis 6-12 g sehari. Lama pengobatan minimal 4-6 minggu.

Bila kuman resisten terhadap penisilin, dapat dipakai sefalotin 1,5 g tiap 3 jam IV atau nafsin 1,5 g tiap 4 jam, oksasilin 12 g/hari atau vankomisin tiap 6 jam atau eritromisin 0,5 g tiap 8 jam.
Endokarditis yang disebabkan oleh jamur biasanya fatal, diberikan amfoterisin B0,5-1,2mg/kgBB/hari IV dan flurositosin 150 mg/kgBB per oral.

Risiko mortalitas dan morbiditas tinggi pada tindakan bedah yang terlalu awal, tapi bila pembedahan terlambat dilakukan, pasien dapat meninggal karena hemodinamik yang buruk atau komplikasi berat. Indikasi bedah adalah gagal jantung yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan, septikemia yang tidak berespons dengan pengobatan antibiotik, emboli multipel, endokarditis relaps, endokarditis pada katup buatan, perluasan infeksi intrakardiak, endokarditis pada lesi jantung bawaan, dan endokarditis karena jamur.

Profilaksis antibiotik diperlukan pada tindakan yang memungkinkan terjadinya bakteremia, misalnya operasi atau pencabutan gigi, American Heart Association merekomendasikan pemberian amoksisilin 3 g secara oral pada 1 jam sebelum prosedur diikuti 1,5 g pada 6 jam setelah dosis inisial. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan 800 mg eritromisin etilsuksinat atau 1 g eritromisin stearat 2 jam sebelum prosedur, atau 300 mg klindamisin oral 1 jam sebelum prosedur, diikuti pemberian berikutnya 6 jam setelah dosis inisial.

MIOKARDITIS

1. Definisi
Miokarditis akut adalah proses inflamasi di miokardium.

2. Etiologi
Miokarditis biasanya diakibatkan oleh proses infeksi, terutama oleh virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan spiroseta, atau dapat juga disebabkan oleh keadaan hipersensitifitas seperti demam rematik. Jadi, miokarditis dapat terjadi pada pasien dengan infeksi akut, yang menerima terapi imunosupresif, atau yang menderita endokarditis infeksi.

3. Patofisiologi
Jantung merupakan organ otot, jadi efisiensinya tergantung pada sehatnya tiap serabut otot. Bila serabut otot sehat, jantung dapat berfungsi dengan baik meskipun ada cedera katup yang berat; bila serabut otot rusak, maka hidup dapat terancam.

Miokarditis dapat menyebabkan dilatasi jantung, trombus dalam dinding jantung (mural trombi), infiltrasi sel darah yang beredar di sekitar pembuluh koroner dan di antara serabut otot, dan degenerasi serabut otot itu sendiri.

4. Manifestasi Klinik
Gejala miokarditis akan tergantung pada jenis infeksinya, derajat kerusakan jantung, dan kemampuan miokardium memulihkan diri. Gejala bisa ringan atau tidak ada sama sekali. Berdebar-debar, dan kadang rasa tak nyaman di dada dan perut atas. Pemeriksaan klinis mungkin memperlihatkan pembesaran jantung, suara jantung tambahan, irama galop, dan bising sistolik. Friction rub perikardial dapat juga terdengar bila pasien mengalami perikarditis. Denyut alternans (denyut dimana terdapat perubahan reguler antara denyut kuat dan lemah) mungkin ditemukan. Demam dan takikardia sering ada dan gejala gagal jantung kongestif bisa terjadi.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis ditegakkan dengan biopsi jantung.

6. Penatalaksanaan
Pasien diberi pengobatan khusus terhadap penyebab yang mendasarinya, bila diketahui (mis: penisilin untuk Streptococcus hemolitikus), dan dibaringkan di tempat tidur untuk mengurangi beban jantung. Berbaring juga membantu mengurangi kerusakan miokardial residual dan komplikasi miokarditis.

Fungsi jantung dan suhu tubuh selalu dievaluasi untuk menentukan apakah penyakit sudah menghilang dan apakah sudah terjadi gagal jantung kongestif. Bila terjadi disritmia, pasien harus dirawat di unit yang mempunyai sarana pemantauan jantung berkesinambungan sehingga personel dan peralatan selalu tersedia bila terjadi disritmia yang mengancam jiwa.

Bila telah terjadi gagal jantung kongestif, harus diberikan obat untuk memperlambat frekuensi jantung dan meningkatkan kekuatan kontraktilitas.

Stoking elastik dan latihan aktif dan pasif harus dilakukan, karena embolisasi dari trombosis vena dan mural trombi dapat terjadi.

PERIKARDITIS

1. Definisi
Perikarditis adalah peradangan perikardium parietal, perikardium viseral, atau kedua-duanya. Terbagi atas perikarditis akut dan kronik.

2. Etiologi
 Perikarditis akut
Infeksi virus, infeksi bakteri spesifik atau nonspesifik, uremia, trauma, sindrom pasca infark miokard, sindrom pasca perikardiotomi, neoplasma, dan idiopatik.
 Perikarditis kronik
Merupakan kelanjutan dari perikarditis akut.

3. Manifestasi Klinik
 Perikarditis akut
Trias klasiknya adalah nyeri dada substernal atau parasternal yang kadang-kadang menjalar ke bahu, pericardial friction rub, dan kelainan EKG yang khas. Dari pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan pembesaran jantung, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, edema kaki, dan mungkin tanda-tanda tamponade.

 Perikarditis kronik
Keluhan berupa rasa lelah, lemah, dispnea saat bekerja, ortopnea, dan keluhan gagal jantung lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung melemah, dapat terdengar pericardial knock, pulsus paradoksus, hepatosplenomegali, ikterus, asites, dan edema.

4. Pemeriksaan Penunjang
 Perikarditis akut
Pada pemeriksaan EKG ditemukan elevasi segmen ST, depresi segmen PR, dan sinus takikardi. Setelah beberapa waktu dapat ditemukan inversi gelombang T. Sebagai komplikasi dapat ditemukan aritmia supraventrikular, termasuk fibrilasi atrium.

Foto toraks tampak normal bila efusi perikard hanya sedikit, tapi bila banyak dapat terlihat bayangan jantung membesar seperti botol air.
Adanya inflamasi dapat diketahui dari peningkatan LED dan leukositosis. Pemeriksaan lain dilakukan atas dasar indikasi bila terdapat kecurigaan mengenai etiologinya, misalnya tes tuberkulin.

 Perikarditis kronik
EKG memperlihatkan penurunan voltase pada lead di ekstremitas. Foto toraks menunjukkan klasifikasi perikardium, kadang dapat terlihat kardiomegali. Dengan ekokardiografi dapat dideteksi penebalan yang terjadi namun sulit. Untuk memastikan daignosis dapat dilakukan kateterisasi jantung kiri dan kanan.

5. Penatalaksanaan
 Perikarditis akut
Terapi bergantung pada penyebabnya. Misalnya diberikan salisilat atau obat anti inflamasi nonsteroid lain bila penyebabnya virus atau idiopatik. Bila gejala tidak membaik, dapat diberikan kortikosteroid. Sebagian besar kasus sembuh sendiri dalam beberapa minggu. Sebagian kambuh kembali, hanya sedikit yang menjadi kronik, dan jarang yang menjadi perikarditis konstriktif bila berasal dari virus atau idiopatik.

 Perikarditis kronik
Perikardiektomi adalah satu-satunya pengobatan yang dapat dilakukan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN

 Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelelahan, kelemahan.
Tanda: Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
 Sirkulasi
Gejala: Riwayat demam reumatik, penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda: Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub perikardia, murmur aortik/mitral, irama gallop, edema, petekie, hemoragi splinter, nodus Osler, lesi Janeway.
 Eliminasi
Gejala: Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda: Urine pekat gelap.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring; hilang dengan duduk, bersandar kedepan (perikarditis), tidak hilang dengan nitrogliserin. Nyeri dada/punggung/ sendi (endokarditis).
Tanda: Perilaku distraksi, mis: gelisah.
 Pernapasan
Gejala: Napas pendek, napas pendek kronik memburuk pada malam hari (miokarditis).
Tanda: Dispnea, dispnea nokturnal, batuk, inspirasi mengi, takipnea, krekels, dan ronki, pernapasan dangkal.
 Keamanan
Gejala: Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun, SLE, atau penyakit kolagen lain.
Tanda: Demam.
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Terapi IV jangka panjang atau penggunaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral.
Pertimbangan rencana pemulangan: DRG menunjukkan rerata lama perawatan 4,3 hari (perikarditis), 5,5 hari (miokarditis), 17 hari (endokarditis). Bantuan dalam penyiapan makanan, berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, tugas dan pemeliharaan rumah tangga.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d efek sistemik dari infeksi.
2. Intoleran aktivitas b/d penurunan curah jantung.
3. Penurunan curah jantung b/d penurunan kontraktilitas otot jantung.
4. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang proses penyakit.


III. INTERVENSI

1. Nyeri akut b/d efek sistemik dari infeksi.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat atau penurun.
R/ Nyeri perikarditis secara khas terletak substernal dan dapat menyebar ke leher dan punggung, namun ini berbeda dari iskemia miokard/nyeri infark. Nyeri dada dapat atau mungkin tidak menyertai endokarditis dan miokarditis, tergantung pada adanya iskemia.

2) Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan, mis: perubahan posisi, gosokan punggung, penggunaan kompres panas/dingin, dukungan emosional.
R/ Tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.

3) Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/ Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.

4) Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/ Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.

2. Intoleran aktivitas b/d penurunan curah jantung.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan dalam toleransi aktivitas.

Intervensi :
1) Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dalam keluhan kelemahan, keletihan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.
R/ Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial akibat GJK. Penurunan pengisian dan curah jantung menyebabkan pengumpulan cairan dalam kantung perikardial bila ada perikarditis. Endokarditis dapat terjadi dengan disfungsi katup, secara negatif mempengaruhi curah jantung.

2) Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum/setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R/ Membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.

3) Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
R/ Meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut dari perikarditis/ endokarditis.

4) Rencanakan perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan.
R/ Memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung; meningkatkan proses penyembuhan dan kemampuan koping emosional.

3. Penurunan curah jantung b/d penurunan kontraktilitas otot jantung.
Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, angina, dan disritmia.

Intervensi :
1) Pantau frekuensi/irama jantung.
R/ Takikardia dan disritmia dapat terjadi saat jantung berupaya untuk meningkatkan curahnya berespon pada demam, hipoksia, dan asidosis karena iskemia.

2) Dorong tirah baring dalam posisi semi-Fowler.
R/ Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.

3) Dorong penggunaan teknik manajemen stress, mis: bimbingan imajinasi, latihan pernapasan.
R/ Perilaku yang bermanfaat untuk mengontrol ansietas, meningkatkan relaksasi, menurunkan beban kerja jantung.

4) Evaluasi keluhan lelah, dispnea, palpitasi, nyeri dada kontinu. Perhatikan adanya bunyi napas adventisius, demam.
R/ Manifestasi klinik dari GJK yang dapat menyertai endokarditis (infeksi/disfungsi katup)/miokarditis (disfungsi otot mioard akut).

5) Kolaborasi pemberian, mis: digitalis, diuretik; antibiotik/antimikrobial IV sesuai indikasi.
R/ Meningkatkan kontraktilitas miokard dan menurunkan efek metabolisme anaerob, yang terjadi sebagai akibat dari hipoksia dan asidosis, antibiotik mengatasi keterlibatan patogen dan mencegah kerusakan jantung lebih lanjut.

4. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang proses penyakit.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan, dan kemungkinan komplikasi.

Intervensi :
1) Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarkan untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh demam, peningkatan/nyeri dada tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
R/ Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan, dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukkan kekambuhan/komplikasi.

2) Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet/pertimbangan khusus; aktivitas yang diizinkan/dibatasi.
R/ Informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.

3) Kaji ulang perlunya antibiotik jangka panjang/terapi antimikrobial.
R/ Perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotik IV/ antimikrobial perlu sampai kultur darah negatif/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.

4) Tekankan pentingnya evaluasi perawatan medis teratur.
R/ Pemahaman alasan untuk pengawasan medis dan rencana untuk/ penerimaan tanggung jawab untuk evaluasi menurunkan risiko kambuh/komplikasi.

5) Identifikasi faktor risiko pencetus yang dapat dikontrol pasien, contoh penggunaan obat IV dan penanganan masalah.
R/ Pasien mungkin termotivasi dengan adanya masalah jantung untuk mencari dukungan untuk menghentikan penyalahgunaan obat/perilaku merusak.

IV. EVALUASI
1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
2. Menunjukkan peningkatan dalam toleransi aktivitas.
3. Menunjukkan penurunan episode dispnea, angina, dan disritmia.
4. Menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan, dan kemungkinan komplikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

Talasemia

TALASEMIA

A. KONSEP DASAR

1. DEFINISI
Talasemia merupakan sekelompok penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif yang berhubungan dengan defek sintesis rantai-hemoglobin.

Secara molekuler talasemia di klasifikasikan dalam dua kelompok utama sesuai rantai globin yang terkena; α-talasemia dan β-talasemia, yang masing-masing berhubungan dengan penurunan atau ketiadaan sintesis rantai-α dan rantai-β.

Sedangkan secara klinis dibedakan atas talasemia mayor dan minor.
 Talasemia Minor, kebanyakan pasien dengan talasemia minor tidak mempunyai gejala tetapi merupakan pembawa talasemia mayor. Namun kehamilan dapat menyebabkan anemia yang bermakna sehigga memerlukan terapi transfusi.
 Talasemia Mayor (Anemia Cooley), ditandai dengan anemia berat, hemolisis, dan produksi eritrosis (eritropoesis) yang tidak efektif.

2. ETIOLOGI

Anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

3. PATOFISIOLOGI
Mengenai dasar kelainan pada talasemia berlaku secara umum yaitu kelainan talasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karena kecelakaan genetik) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada talasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.

Individu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromoson 16 (aa/aa). Hilangnya 1 gen (silent carrier) tidak memberikan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis talasemia alfa intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosis lebih cepat. Delesi keempat gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb Barts hydrops fetalis) adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra-uterin atau neonatal, tanpa transfusi darah.

Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromoson 11. Pada talasemia beta, sisi pendek kromoson 11. Pada talasemia beta, mutasi gen disertai berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal.

Dibedakan dua golongan besar talasemia beta:
 Adanya produksi rantai beta (tipe beta plus).
 Tidak ada produksi rantai beta (tipe beta nol).

Defisit sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta mRNA yang berfungsi sebagai template untuk sintesis protein.

Pada talasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.

Eritropoesis didalam sumsum tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstramedular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan. Walaupun eritropoesis sangat giat hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara efektif.
Salah satu sebab mungkin karena presipitasi didalam eritrosit.
Pada kasus homosigot talasemia beta nol, sintesis rantai globin beta tidak ada. Sekitar 50% kasus-kasus ini globin beta mRNA dalam retikulosit dan sel eritrosit muda berkurang atau tidak ada. Mutasi gen pada talasemia beta bersifat sangat heterogen dan mencapai lebih dari 20 variasi genotip. Hal ini berbeda dengan talasemia alfa yang defek gennya akan homogenik. Gen-gen talasemia alfa 1, talasemia alfa 2, talasemia beta, Hb E dan Hb constant spring dapat bergabung dalam kombinasi yang berbeda-beda yang mengakibatkan suatu kompleks variasi sindrom talasemia dengan lebih dari 60 genotip yang disertai gejala yang bervariasi dari asimtomatik sampai letal seperti pada Hb Bart hydrops fetalis.

Kemajuan-kemajuan dalam mengungkapkan penyebab genetik molekular pada talasemia didukung oleh pemeriksaan restriction endonuklease digestion dan geneblotting studies. Namun demikian secara umum tidak dapat mendeteksi talasemia beta yang disebabkan karena mutasi nukleotida yang tunggal atau delesi yang minimal.

Talasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/ kelainan yang berdasarkan defek/kelainan hanya satu gen.

4. MANIFESTASI KLINIK
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.

Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme.

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anemia biasanya berat, dengan kadar hemoglobin (Hb) berkisar antara 3-9 g/dl. Eritrosit memperlihatkan anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemukan sel target dan tear drop cell. Normoblas banyak di jumpai terutama pasca splenektomi. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin. Petunjuk adanya talasemia alfa adalah ditemukannya Hb Bart’s dan Hb H. Pada talasemia beta kadar Hb F bervasiasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

6. PENATALAKSANAAN
Pemberian transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dL. Kadar Hb setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan didalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorpsi Fe dari traktus digestivus. Sebaiknya darah transfusi tersebut tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit yang serendah-rendahnya. Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10-20 ml/kg berat badan. Pasien dengan kadar Hb yang rendah untuk waktu lama, perlu ditransfusi dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Frekuensinya sebaiknya sekitar 2-3 minggu. Sebelumnya dan sesudah pemberian trasfusi ditentukan kadar Hb dan hematokrit. Berat badan perlu dipantau, paling sedikit 2 kali setahun.

Pemberian chelatin agents (Desferal) secara teratur membantu mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan dengan bantuan pompa kecil. Di samping Desferal kini ada chelating agent oral yaitu antara lain Desferiprone. Manfaatnya lebih rendah dari pada Desferal dan memberikan bahaya fibrosis hati.

Hanya pada 10 kasus dari 134 pasien talasemia di Rumah sakit Dr. Sutomo telah dilakukan splenektomi. Splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda-tanda hipersplenisme atau kebutuhan transfusi yang meningkat atau karena sangat besarnya limpa. Cara sederhana untuk membantu menentukan indikasi splenektomi adalah menghitung indeks derajat menurunnya Hb diantara 2 transfusi.

Pasca spelenektomi dokter perlu waspada terhadap infeksi. Pemberian antibiotik kadang-kadang perlu sebagai usaha pencegahan terutama apabila infeksi sering kambuh, misalnya dengan penisilin oral. Gambaran darah tepi tidak banyak berubah setelah splenektomi, sebaliknya sering tampak lebih banyak sel normoblas. Maka hidup eritrosit lebih baik daripada sebelum splenektomi.

Pasien talasemia major memerlukan bimbingan khusus dalam pendidikannya karena sering merasa rendah diri akibat kelainan fisik yang dialami dan hambatan-hambatan lain dalam pergaulan sosial.

Di kemudian hari, pengobatan talasemia beta mayor dengan trasplantasi sumsum tulang mungkin mendapat tempat utama. Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. Tetapi, apabila transplantasi sumsum tulang pada khasus tertentu, hal ini memberikan penyembuhan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Tumbuh kembang masa kehidupan anak terhambat.
 Tidak nafsu makan.
 Diare.
 Kehilangan lemak tubuh.
 Demam berulang akibat infeksi.
 Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
 Hepatosplenomegali, ikterus ringan.
 Perubahan pada tulang yang menetap (bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoesis yang hiperaktif).
 Penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki (mencegah Fraktur patologis)
 Epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu.
 Pansitopenia akibat hipersplenisme.
 Hemosiderosis (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder).
 Pankreas (diabetes).
 Hati (sirosis).
 Otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung).
 Perikardium (perikarditis).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan b/d anemia berat.
2. Risiko tinggi infeksi b/d transfusi.
3. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari tubuh.
4. Risiko tinggi trauma b/d deformitas skelet.
5. Nyeri b/d produk-produk kimia.

III. INTERVENSI

1. Perubahan perfusi jaringan b/d anemia berat.
Tujuan : Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.

Intervensi :
1) Kaji kulit untuk rasa dingin, pucat, sianosis, diaforesis, perlambatan pengisian kapiler.
R/ Perubahan menunjukkan penurunan sirkulasi/hipoksia yang meningkatkan oklusi kapiler.

2) Kaji perubahan warna pada kulit, perhatikan bagian ekstremitas bawah/tungkai.
R/ Penurunan sirkulasi perifer sering menimbulkan perubahan dermal dan perlambatan penyembuhan.

3) Pertahankan suhu lingkungan dan kehangatan tubuh.
R/ Mencegah vasokonstriksi; membantu dalam mempertahankan sirkulasi dan perfusi.

4) Awasi pemeriksaan laboratorium, mis: GDA, darah lengkap, AST (SGOT)/ALT (SGPT), CPK, BUN.
R/ Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan seperti otak, hati, limpa, ginjal, jantung, dan sebagainya dengan konsekuensi pelepasan enzim intraseluler.

2. Risiko tinggi infeksi b/d transfusi.
Tujuan : Tidak demam dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen, dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.

Intervensi :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan.
R/ Mengurangi risiko kontaminasi silang.

2) Periksa adanya luka/lokasi alat invasif, perhatikan tanda-tanda inflamasi/infeksi lokal.
R/ Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.

3) Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi.
R/ Mengurangi risiko kemungkinan infeksi.

4) Pantau kecenderungan suhu.
R/ Demam disebabkan oleh efek-efek dari endotoksin pada hipotalamus dan endorfin yang melepaskan pirogen. Hipotermia adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan status syok/penurunan perfusi jaringan.

5) Pantau tanda-tanda penyimpangan kondisi/kegagalan untuk membaik selama masa terapi.
R/ Dapat menunjukkan ketidaktepatan/ketidakadekuatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme resisten/oportunistik.

6) Kolaborasi pemberian obat anti infeksi sesuai indikasi.
R/ Dapat membasmi/memberikan imunitas sementara untuk infeksi.

3. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari tubuh.
Tujuan : Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).

Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal, catat laporan kelelahan, keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.
R/ Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

2) Awasi TD, nadi, pernapasan, selama dan sesudah aktivitas. Catat respons terhadap aktivitas (mis: peningkatan denyut jantung/TD, disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan sebagainya).
R/ Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.

3) Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi pengunjung, telepon, dan gangguan berulang tindakan yang tak direncanakan.
R/ Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.

4) Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
R/ Mempertahankan tingkat energi dan meningkatkan regangan pada sistem jantung dan pernapasan.

5) Gunakan teknik penghematan energi, mis: mandi dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas.
R/ Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan.

6) Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, napas pendek, kelemahan, atau pusing terjadi.
R/ Regangan/stress kardiopulmonal berlebihan/stres dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan.

4. Risiko tinggi trauma b/d deformitas skelet.
Tujuan : Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas skelet.

Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi.
R/ Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi.

2) Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit.
R/ Posisi yang tepat dapat mencegah tekanan deformitas.

3) Dorong pasien untuk secara hati-hati memposisikan tungkai yang sakit.
R/ Mencegah ketidaknyamanan dan risiko cedera.

5. Nyeri b/d produk-produk kimia.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri.
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.

2) Kontrol suhu lingkungan.
R/ Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.

3) Pertahankan tirah baring sesuai program.
R/ Tirah baring mengurangi penggunaan energi dan membantu mengontrol nyeri dan mengurangi kontraksi otot.

4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
R/ Menghilangkan/membantu dalam manajemen nyeri.

IV. EVALUASI
1. Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
2. Tidak demam dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen, dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
3. Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).
4. Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas skelet.
5. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.

Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Penyakit Jantung Rematik

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI

Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berkali-kali.

2. ETIOLOGI
Patogenesis pasti demam rematik masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan yang telah diajukan adalah (1) respons hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi, dan (2) efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Penjelasan dari sudut imunologi dianggap sebagai penjelasan yang paling dapat diterima, meskipun demikian mekanisme yang terakhir tidak dapat dikesampingkan seluruhnya.

3. PATOFISIOLOGI
Perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronik. Pada stadium akut, katup membengkak dan kemerahan akibat adanya reaksi peradangan. Dapat terbentuk lesi-lesi di daun katup. Setelah peradangan akut mereda, terbentuk jaringan parut. Hal ini dapat menyebabkan deformitas katup dan pada sebagian kasus, menyebabkan daun-daun katup berfusi sehingga orifisium menyempit. Dapat muncul stadium kronik yang ditandai oleh peradangan berulang dan pembentukan jaringan parut yang terus berlanjut.

4. MANIFESTASI KLINIK
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.

5. KOMPLIKASI
Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan kelainan katup jantung.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

7. PENATALAKSANAAN
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1) Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2) Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3) Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.

Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.

Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.

8. PENCEGAHAN
Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada semua orang.

Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis streptokokus; panas tinggi (38,9o sampai 40oC, atau 101o sampai 104oF), menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi hidung akut.

Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.

Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelelahan, kelemahan.
Tanda: Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
 Sirkulasi
Gejala: Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda: Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, irama gallop, edema, petekie, hemoragi splinter, nodus Osler, lesi Janeway.
 Eliminasi
Gejala: Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda: Urine pekat gelap.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda: Perilaku distraksi, mis: gelisah.
 Pernapasan
Gejala: Napas pendek, napas pendek kronik memburuk pada malam hari.
Tanda: Dispnea, dispnea nokturnal, batuk, inspirasi mengi, takipnea, krekels, dan ronki, pernapasan dangkal.
 Keamanan
Gejala: Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun, SLE, atau penyakit kolagen lain.
Tanda: Demam.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.
3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.
4. Kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

III. INTERVENSI
1. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).
R/ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.

2) Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen (contoh kerja tiba-tiba, stres, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.

3) Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/ Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.

4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

5) Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/ Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.

2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.

Intervensi :
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.

2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.

3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.

3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.
Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.

Intervensi :
1) Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi dini/tindakan terhadap dekompensasi.

2) Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.

3) Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.
R/ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.

4) Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.

5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.

4. Kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

Intervensi :
1) Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.
R/ Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.

2) Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.

3) Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.
R/ Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.

4) Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/ Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.

5) Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
R/ Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.

6) Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/ Menurunkan retensi cairan.

5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.
Tujuan : Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.

Intervensi :
1) Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.

2) Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/ Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping.

3) Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.

4) Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.
R/ Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa kontrol.

5) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi, relaksasi progresif.
R/ Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

IV. EVALUASI
1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
2. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
3. Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
4. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
5. Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC. Jakarta.

Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.